KOTA LAMA
Citra Visual Arsitektur Eropa di Semarang Utara
Bukan tanpa alasan tatkala kami memutuskan untuk berjalan menyusuri lorong demi lorong di Kota Lama Semarang. Perjalanan ini terinspirasi dari kata-kata Profesor Eko Budihardjo, "kota tanpa kota lama ibarat manusia tanpa ingatan". Keinginan kuat untuk mengumpulkan keping ingatan supaya bisa memahami rangkaian utuh sejarah Kota Semarang ini akhirnya membawa kami ke kawasan Kota Lama yang dipenuhi bangunan bergaya indis. Meski beberapa gedung nampak tua termakan usia, sisa-sisa kemegahan dan kejayaan tempat itu di masa lalu masih tergambar dengan jelas. Terpaan cahaya mentari pagi yang keemasan dan langit biru cerah membuat deretan bangunan ini terlihat semakin menawan.
Sejarah Kota Lama diawali dari penandatangan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan VOC pada 15 Januari 1678. Kala itu Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada pihak VOC sebagai pembayaran karena VOC telah berhasil membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Setelah Semarang berada di bawah kekuasaan penuh VOC, kota itu pun mulai dibangun. Sebuah benteng bernama Vijfhoek yang digunakan sebagai tempat tinggal warga Belanda dan pusat militer mulai dibangun. Lama kelamaan benteng tidak mencukupi, sehingga warga mulai membangun rumah di sebelah timur benteng. Tak hanya rumah-rumah warga, gedung pemerintahan dan perkantoran juga didirikan.
Sejak awal, pembangunan Kota Lama yang kala itu dikenal dengan nama de Europeeshe Buurt disesuaikan dengan konsep perancangan kota-kota di Eropa, baik secara struktur kawasan maupun dalam segi arsitektur. Berbeda dengan struktur kota atau kerajaan-kerajaan di Jawa yang sangat memperhatikan konsep arah mata angin, struktur bangunan di Kota Lama memiliki pola radial atau memusat dengan Gereja Blenduk dan gedung pemerintah sebagai pusatnya. Di sekitar Kota Lama dibangun kanal-kanal air yang keberadaanya masih bisa disaksikan hingga kini. Meski tidak memperhatikan konsep arah mata angin, penataan di kawasan pusat Kota Lama mengadopsi konsep kebudayaan Jawa yakni adanya kesatuan antara gedung pemerintahan, ruang publik, dan tempat ibadah.
Melihat perkembangan kota yang begitu pesat akhirnya benteng Vijfhoekdibongkar dan dibangun benteng baru yang mengelilingi seluruh areal Kota Lama. Hal inilah yang menyebabkan Kota Lama mendapat julukan sebagaiLittle Netherland. Lokasinya yang terpisah dengan lanskap mirip kota di Eropa serta benteng besar dan kanal yang mengelilinginya menjadikan Kota Lama seperti miniatur Belanda di Semarang. Untuk memudahkan akses keluar masuk warga Belanda, dibangunlah jalan-jalan penghubung di dalam benteng dengan jalan utama bernama de Herenstaart yang sekarang berubah menjadi Jalan Letjend Suprapto. Jalan yang terletak persis di depan Gereja Blenduk itu juga menjadi bagian dari jalan raya pos sepanjang 1000 km yang membentang sepanjang Anyer Panarukan.
Satu bangunan yang wajib dikunjungi saat mengunjungi Kota Lama adalah Gereja Blenduk yang sudah berusia lebih dari seperempat abad. Gereja yang memiliki nama asli Nederlandsch Indische Kerk dan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini menjadi landmark Kota Semarang. Disebut dengan nama blenduk karena memiliki atap berbentuk kubah berwarna merah bata yang terbuat dari perunggu serta dua menara kembar di depannya. Masyarakat pribumi yang kesulitan mengucapkan nama dalam bahasa Belanda pun akhirnya menyebutnya blenduk. Perubahan nama juga terjadi pada Jembatan Berok yang dulu menjadi pintu gerbang menuju Kota Lama. Kata burg yang berarti jembatan dilafalkan menjadi berok dan nama itu terus dipakai hingga kini.
Bangunan lain yang tak kalah menarik dan menyimpan segudang cerita antara lain gedung seba guna Marabunta dengan ornamen semut raksasa di atapnya. Gedung Het Noorden yang sekarang digunakan sebagai kantor redaksi Suara Merdeka Group merupakan titik mula sejarah media cetak di Semarang. Tak jauh didekatnya terdapat pabrik rokok Praoe Lajar. Ada juga Stasiun Tawang dengan gaya arsitektur indis yang masih dioperasikan hingga sekarang. Di depannya terdapat polder air Tawang yang berfungsi sebagai pusat pembuangan air sebelum dialirkan ke laut. Usai mengitari kompleks Kota Lama, kami pun berteduh di Taman Srigunting yang dulunya merupakan area terbuka dan biasa digunakan untuk parade prajurit maupun pertunjukan hiburan. Sedangkan di depannya terdapat gedung Jiwasraya yang dulu merupakan kantor pemerintah VOC. Duduk di taman yang asri ditemani kicauan burung dan dikelilingi bangunan ala Eropa membuat kami merasa menjadi noni Belanda yang sedang berwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar