Historical

YOGYAKARTA (often also called Jogja, Yogya, or Yogyakarta) is located in the middle of Java Island - Indonesia, where everything was cheap.Enough with the Rp.200.000 a day, you can stay, eat traditional cuisine of the famous, and rent a bike to explore the beaches are still virgin and ancient temples thousands of years old. Borobudur This is what founded the Kingdom of Borobudur temple which is the largest Buddhist temple in the world, 300 years before Angkor Wat in Cambodia. Other relics are the temple of Prambanan, Ratu Boko Palace, and dozens of other temples that have been restored and are still buried under the ground. But by some mysterious reason, the Ancient Mataram Kingdom central government moved to East Java in the 10th century.Magnificent temples were abandoned and partially buried by the eruption of Mount Merapi material.Slowly, the Yogyakarta region went back into the thick forest. Six hundred years later, Panembahan Senopati establish Islamic Mataram kingdom in this region. Once again Yogyakarta to witness the history of empire that controls the island of Java and its surroundings. Islamic Mataram Kingdom has left a trail of ruins of the citadel and royal tombs in Kotagede now known as a center for silver in Yogyakarta Puppet Show Giyanti agreement in 1755 dividing the kingdom of Mataram Islam became Kasunan Surakarta, based in the city of Solo and Yogyakarta Sultanate who founded the palace in the city of Yogyakarta. Kraton (palace) was still standing until now and still serves as a residence sultan and his family, complete with hundreds of courtiers who voluntarily run a tradition in the midst of changing times. At the palace, every day there are cultural performances of wayang kulit performances, gamelan, Javanese dance, etc. (see Schedule of Events). Yogyakarta at the present is a place of tradition and modern dynamics go hand in hand. In Yogyakarta there are courts with hundreds of courtiers loyal to the tradition, but also there is the University of Gadjah Mada University, which is one of the leading universities in Southeast Asia. In Yogyakarta, some people living in an agrarian culture is thick, but there are also the student with life-style pop. In Yogyakarta there are traditional markets and handicrafts while standing next to the mall, no less hectic. Beach Sundak At the north end of Yogyakarta, you will see Mount Merapi stands proudly as high as 9738 feet. This mountain is one of the most active volcanoes in Indonesia. Traces the fierce eruption of Mount Merapi in 2006 and can be witnessed in the village of Kaliadem, 30 km from the city of Yogyakarta. Landscape style Mooi Indiƫ green expanse of rice fields and Mount Merapi in the background can still be seen on the outskirts of the city of Yogyakarta. In the southern part of Yogyakarta, you will find many beaches. The most famous beach is Parangtritis with legend Nyi Roro Kidul, Yogyakarta but also has natural beaches in Gunung Kidul beautiful. You can see Sadeng which is a primordial Solo River estuary before a powerful tectonic forces lifted the surface of the southern island of Java so that the flow of the river turned to the north like today. You also can visit the beach which has 250 channels Siung rock climbing, Beach Sundak, and others (see Beaches). Malaysia has the world's tallest twin towers, Prambanan Temple Yogyakarta has a towering 47 meters tall and is made by hand 1100 years earlier. Singapore has a modern life, Yogyakarta has a traditional agrarian society. Thailand and Bali has beautiful beaches, Yogyakarta has natural beaches and Mount Merapi, which saves the story of how powerful the forces of nature. A unique combination of ancient temples, history, tradition, culture, and the forces of nature make Yogyakarta is well worth a visit. diytransport.blogspot.com sites will help you plan a visit to Yogyakarta and enjoy the best charm of this place. We provide abundant information about the sights, star hotels, cheap hotels, restaurants, food stalls, travel agents, rental car and all the information you need to travel to Yogyakarta / Jogja. Free Web Site Counters
contact at 0274- 6823300; 081.754.21261; 081.3280.32500; pin bb : 2A9FFE7D

Selasa, 10 Januari 2012

Sam Poo Kong

KLENTENG AGUNG SAM POO KONG
Menapaki Jejak Cheng Ho di Gedung Batu

Klenteng Agung Sam Poo Kong atau yang juga dikenal dengan nama Gedung Batu merupakan tempat peribadatan umat Tri Darma terbesar di Semarang. Keberadaan klenteng ini tak bisa dipisahkan dari kisah pelayaran kolosal admiral Cina muslim bernama Laksmana Cheng Ho. Berbeda dengan Bangsa Eropa yang membawa misi 3G (Gold, Glory, Gospel) dalam tiap pelayarannya, misi yang diemban oleh Laksmana Cheng Ho hanyalah misi damai dan berdiplomasi dengan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya. Ketika armada Cheng Ho berlayar ke nusantara untuk kesekian kalinya, Wang Jinghong yang merupakan orang kedua dalam armada itu mendadak sakit keras sehingga Cheng Ho memutuskan untuk membuang sauh di Simongan yang kala itu masih berupa pantai. Gua batu yang ditemukan oleh Cheng Ho kemudian digunakan sebagai tempat beristirahat Wang Jinghong dan sepuluh anak buahnya, sedangkan Cheng Ho kembali melanjutkan perjalanan ke barat.
Wang Jinghong dan anak buahnya kemudian menikahi wanita lokal serta memutuskan untuk tinggal di Simongan. Lambat laun Simongan berubah menjadi tempat yang maju karena aktivitas perdangan dan pertanian. Warga Tionghoa yang berdatangan ke Semarang pun bermukim dan bercocok tanam di sana. Guna mengenang serta menghormati Laksmana Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di dalam gua. Sepeninggalnya Wang Jinghong, etnis Cina yang mulai memadati Simongan mendirikan sebuah klenteng sederhana yang diberi nama Klenteng Sam Poo Kong.
Pada abad ke 18, warga Tionghoa yang telah direlokasi ke kawasan Pecinan oleh Belanda sempat mengalami kesulitan saat hendak beribadah di Klenteng Sam Poo Kong. Hal ini dikarenakan ada tuan tanah Yahudi bernama Johanes yang menguasai seluruh tanah di daearah Simongan. Dia menetapkan pajak yang sangat tinggi bagi warga yang ingin beribadah. Pemajakan ini baru berakhir pada tahun 1879 saat ayah Raja Gula Oei Tiong Ham membeli hak atas tanah ini. Klenteng Sam Poo Kong pun kembali dikunjungi warga dan terus berbenah diri serta bersolek menjadi cantik seperti sekarang.
Selain sebagai tempat peribadatan, saat ini Klenteng Sam Poo Kong juga menjadi salah satu wisata religi yang diunggulkan di Semarang. Kompleks Klenteng Agung Sam Poo Kong terbagi menjadi dua bagian, yaitu plaza utama dan bangunan klenteng. Pengunjung yang tidak memiliki kepentingan hanya boleh masuk ke plaza utama, tempat di mana berdiri patung Laksmana Cheng Ho setinggi 10,7 m. Patung berbahan dasar perunggu yang dibuat di Cina ini merupakan patung tertinggi di Asia Tenggara. Di sebelah selatan terdapat gerbang raksasa berwarna merah menyala yang membuat kita serasa berada di Negeri Cina. Di balik pagar besi terdapat bangunan klenteng yang hanya boleh dimasuki oleh pengunjung yang hendak berdoa atau ingin membaca peruntungan yang dikenal dengan istilah ciamsi. Berbekal hio seharga Rp 10.000, kami pun melenggang masuk ke kompleks klenteng guna melakukan ciamsi.
Bau hio menyeruak dengan tajam saat kami memasuki kompleks klenteng dengan atap bertingkat yang dihiasi ratusan lampion. Ukiran naga dan huruf Cina berwarna emas menghiasi pilar-pilar merah. Sebuah bedug berwarna merah terlihat di klenteng utama. Di kompleks ini terdapat 4 klenteng yang bernama Klenteng Dewi Laut, Dewa Bumi, Kyai Juru Mudi, dan Klenteng Sam Poo Kong. Sedangkan di bagian bawah yang agak tersembunyi terdapat petilasan Kyai Jangkar, Kyai Tumpeng, dan Kyai Tjundrik Bumi. Di belakang altar utama, terdapat relief yang menggambarkan tentang kisah pelayaran Cheng Ho, lengkap dengan keterangan dalam 3 bahasa.
Sesampainya di klenteng utama, seorang juru ramal atau yang disebut biokong meminta hio untuk dinyalakan, kemudian meletakkannya di atas hiolo besar. Saya pun diajak menuju gua batu di balik relief guna memulai proses ciamsi. Hawa dingin langsung menusuk saat memasuki gua batu yang digunakan sebagai tempat berdoa. Prosesi ciamsi diawali dengan melakukan po pwe atau melempar dua tongkat kayu dan melihat sisi yang muncul, ritual itu dilakukan secara berulang-ulang. Selanjutnya biokong mengambil batangan bambu berisikan angka di wadah dengan cara mengocoknya. Melihat angka yang tertera di batangan bambu wajah biokong nampak berkerut. "Jodohmu tidak begitu bagus", katanya sambil menepuk pundak saya."
Harga tiket:
  • Rp. 3.000 (masuk ke halaman klenteng)
  • Rp. 20.000 (masuk ke kompleks bangunan klenteng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar